Selasa, 29 Desember 2015

Kritik Holistik




            Indieguerillas adalah dua seniman yang berkolaborasi dalam membuat karya, yaitu Dyatmiko Lancur Bawono (Miko) dan Santi Ariestyowanti (Santi), Sepasang suami istri tersebut berkolaborasi berawal pada 1999, ketika mereka mendapat pesanan untuk membuat desain Cover CD album Sheila on 7 berjudul “Kisah Klasik Untuk Masa Depan”. Sejak saat itu pula nama Indieguerillas tercipta sebagai identitas mereka sebagai desainer grafis. Satu paham yang mereka anut sejak awal adalah WORK & PLAY. WORK menandakan saat mereka berkarya atas pesanan klien dengan tujuan komersial, sedangkan PLAY adalah pada saat mereka berkarya murni untuk kesenangan artistik mereka semata. Pasangan perancang grafis dan interior ini akhirnya menikah pada 2002, dan terus berkarya dengan nama Indieguerillas

              Miko Bawono Lahir di Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, 24 Oktober 1975 Lulus dari Jurusan Desain Interior, Visual Fakultas Seni, Indonesia Institut Seni, Yogyakarta. Sedangkan Pasangan dalam berkarya (Istri) Santi Ariestyowanti Lahir di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia, 21 Maret 1977 Lulus dari Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Visual, Indonesia Institut Seni, Yogyakarta. Keduanya memiliki latarbelakang pendidikan yang sama sehingga pasangan tersebut telah menetap di Yogyakarta.

Pada 2002, mereka mendapat ajakan untuk berpameran di Galeri Cemeti, pada pameran kelompok bersama dengan perancang grafis dari Prancis. Pameran tersebut menandai langkah awal mereka dalam dunia seni rupa Indonesia. Sejak pameran tersebut mereka mulai aktif mengikuti kegiatan-kegiatan seni, termasuk CP Biennale pada 2005. Tahun 2007 merupakan momentum penting dalam karir mereka sebagai seniman, saat mereka ikut serta dalam pameran di Galeri Nasional Indonesia berjudul “ArtVertising”. Keikutsertaan mereka dalam pameran tersebut membuka pandangan baru dalam menjalani karir mereka sebagai seniman. Sejak pameran tersebut, mereka memutuskan mengurangi unsur WORK yang sebelumnya dominan dan berfungsi membiayai kehidupan sehari-hari, lalu membuat unsur PLAY menjadi dominan. Boleh dibilang sejak saat itu mereka memproklamasikan diri sebagai sepasang seniman.


                 Indieguerillas telah menyelenggarakan berbagai macam pameran tunggal maupun group, pameran tunggal diantaranya adalah Pameran Fools’lore: Folklore Reload, Biasa Artspace, yang diselenggarakan di Bali, Indonesia pada tahun 2008, lalu pada tahun 2010 indieguerillas juga mengadakan pameran tunngal yaitu Happy Victims, VWFA yang diadakan di Singapura dan Indie what? Indie who?, Garis Art Space di Jakarta. pada tahun 2012, Indieguerillas mengadakan pameran keduanya disingapura yang bertajuk (Foster) The Prefabricated Faith, Project Room, Gillman Barracks serta dilanjut pada tahun yang sama pameran ketiganya di Singapura dengan judul Please, Please, Please, Let Me Get What I Want, Painting Project Room, Equator Art Projects, Gillman Barracks.

               Sedangkan pada Grup Pameran antara lain yaitu pada tahun 2009 dengan tajuk LINTAS / PIECE yang diadakan di Galeri Canna Jakarta, Biennale Jogja X: Jamming Jogja, diadakan JNM Yogyakarta, Animamix Biennial: Visual attrack & Attack, yang diadakan di Museum Seni Kontemporer Taiwan, Borderless Dunia, 2nd Anniversary di Srisasanti Gallery Yogyakarta, Di Rainbow diadakan di Esa Sampoerna Art House, Surabaya, Cetak biru untuk Jogja, Tembi Contemporary di Yogyakarta, HEROISME, di Mon Decor Gallery Jakarta. pada tahun 2008 juga mengikuti 12 pameran diantaranya yaitu dengan tajuk Jawa Baru, GarisArt yang diadakan di Jakarta, Artissima 15, pada China , Turin, dan Italia, Menyegarkan: Strategi Baru dalam Seni Kontemporer Indonesia yang diadakan pada Valentine Willy Fine Art di Singapur, Hello Cetak, EDWIN Gallery di Jakarta, Pernikahan: Loro Blonyo di Gedung Tri Juang Magelang, Jawa Bar yang diadakan di Srisasanti Gallery Yogyakarta, Kebebasan, MON Decor, TBY Yogyakarta diadakan di Galeri Nasional Indonesia, Perang Kembang pada Bentara Budaya Yogyakarta, 69 Seksi Nian pada Gallery Yogyakarta, Anak laki-laki | Art Gadis-Kontemporer, Pemuda Hidup dan Budaya di Dua Bagian pada EDWIN Gallery Jakarta, STICKERPHIEND Expo, Sticker Pameran Seni, Phoenix, AZ, AS 2008, STIKER EXPO 2008, Sticker Pameran Seni, Curitiba, Brasil. Dan pada 2007 terdapat 9 pameran yang telah diikutinya, yaitu Lullaby di Galeri V-art Yogyakarta, Neo Nation diadakan di Jogja National Museum- Biennale Jogja, Yogyakarta, Bayangan Prambanan di Gallery Yogyakarta, ARTVERTISING di Galeri Nasional Indonesia, Masukkan Karakter di Kedai Kebun Forum Yogyakarta, Shout Out di Festival Seni Yogyakarta, SOBEK | DIY: MIA, Miami International University of Art dan Desain, Miami FL, Lateks untuk Fun, Hentikan kediktatoran vinil, Barcelona Wilayah besar di Galeri Nasional Indonesia. Dan pameran grup pada tahun 2006 antara lain, Pernikahan: Tembakau & Art yang diadakan di Gedung Tri Juang Magelang, dan pada tahun 2005 yaitu Di Sini & Kini, Sagan di Area Biennale Yogyakarta, Urban / Culture, CP Biennale di Museum Bank Indonesia Jakarta, Budaya Clash, Via melalui Yogyakarta & Via melalui Antwerpen, Belgia. Selanjutnya pada tahun 2004 mengikuti pameran Barcode, Festival Kesenian Yogyakarta. Menjelajahi Vacuum, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta pada tahun 2003 dan terakhir padatahun 2003 yaitu pada pameran Signes yang diadakan di Rumah Seni Cemeti Yogyakarta.

Pengalaman mereka sebagai desainer tentu sangat memengaruhi karya-karya mereka, maupun proses kreatif yang mereka jalani. Satu hal yang sangat mencolok dapat kita saksikan pada penggunaan bahan dan teknik dalam karya-karya mereka. Mereka percaya bahwa seni rupa tidak hanya sebatas kanvas, cat, perunggu, kayu, atau materi-materi konvensional lainnya. Mereka sangat sadar bahwa kedekatan mereka dengan teknologi komputer dan cetak digital yang biasa mereka gunakan saat mendesain, membuka peluang baru untuk ekplorasi kreatif. Namun demikian, mereka tidak anti atau meninggalkan proses berkarya secara konvensional menggunakan cat dan kanvas. Justru penggabungan antara teknologi komputer dan cara-cara konvensional bisa menghasilkan sebuah karya yang fresh dan sangat menarik, yang sekaligus merupakan ciri khas Indieguerillas.

Berbeda dari banyak seniman yang layaknya melakukan pemikiran dan proses kreatif dalam kesendirian, pemikiran kreatif Indieguerillas berawal dari ‘brain storming’ antara Miko dan Santi. Kerja sama ini terus berlanjut sampai pada proses penggarapan karya. Bahkan sering mereka juga melibatkan pihak ketiga seperti dalam workshop kayu, logam, resin, akrilik dan digital printer. Mereka mengajak pihak ketiga ini sebagai mitra dalam mengerjakan karya.

Berbeda dari banyak seniman yang memandang karyanya dengan sangat individualis, Indieguerillas percaya bahwa yang sangat individualis adalah ide karya, bukan proses pengerjaannya. Bahkan pengertian individualis pun dalam konteks Santi-dan-Miko, bukan hanya Santi atau hanya Miko.

Mirip dengan proses kerja kreatif Indiguerillas, isi atau content karya mereka secara prinsip juga merupakan peleburan antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern yang mutakhir. Namun penggabungan ini bukan tanpa sebab musabab dan tujuan. Secara prinsip, nilai-nilai dalam karya Indieguerillas merupakan metafora dari keberadaan diri mereka sebagai orang Jawa tulen yang hidup di dunia anak muda masa kini yang penuh akan pengaruh Barat yang konon sudah mengglobal.

Dalam karya-karyanya, Indieguerillas banyak menggunakan figur-figur pewayangan dan/atau figur-figur dari cerita rakyat. Figur-figur tersebut merupakan simbol dari keberadaan diri mereka sebagai orang Jawa, yang masih sangat lekat dengan nilai-nilai tradisi Jawa. Oleh karenanya, figur pewayangan yang kerap mereka pergunakan dalam karya adalah figur Punakawan, karena Punakawan adalah figur dalam pewayangan yang khas Indonesia. Figur Punakawan tidak ada pada cerita wayang di India ataupun di negara lain. Alasan kedua adalah, figur Punakawan melambangkan keberadaan orang kebanyakan atau rakyat jelata yang memiliki kebijaksanaan.



The Kanoman Overdrive
Media: Digital Print Sticker & Acrylic Paint on Wood Panel
Tahun: 2007
Pameran di: Yogyakarta Arts Festival, June 22 – July 2, 2007

             Pada Lukisan tersebut menceritakan 10 Karakter Pemuda Indonesia pada saat mereka melakukan perjalanan melalui hutan dalam globalisasi untuk mencari kenyamanan yang diberikan. Ide dan karakter didasarkan pada karakter yang ditemukan pada Wayang Kulit tradisional Jawa seperti Anoman, Gareng, Petruk, Bagong, Limbuk, Cangik, Raja Rahwana, Rakasa Cakil, Rakasa Lembu Sura, dan iblis raksasa. Akan tetapi penggunaan wayang dalam karya Indieguerillas tidak lepas dari pengaruh trend kesenian anak muda zaman sekarang. Musik hip-hop dan rock, street art, urban fashion, skate board merupakan subkultur budaya yang memengaruhi tumbuhnya Low-Brow Art, yang berkembang dan menjadi trend di kalangan anak muda di Amerika dan Eropa, yang kemudian pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Yogyakarta, tempat Indieguerillas tinggal. Pengaruh ini sangat jelas terlihat dalam karya-karya Indieguerillas, terutama dalam cara mereka mendeformasikan sebuah bentuk atau juga dari cara mereka melakukan penyejajaran (juxtaposition) objek. Jika kita amati tampilan figur pewayangan dalam karya-karya Indieguerillas sudah tidak lagi terlihat seperti figur aslinya, bahkan kadang agak sulit untuk mengenali figur aslinya, namun esensi figur wayang tersebut tampil sangat kuat.

Deformasi atau reka ulang bentuk dan penyejajaran menjadi sangat penting dalam karya-karya Indieguerillas. Proses deformasi dan penyejajaran ini menjadi alat mengaburkan sekaligus mencari identitas. Sama halnya dengan banyak orang Indonesia yang mengaburkan identitas keindonesiaannya, namun sebenarnya tanpa disadari kita menemukan identitas baru: identitas manusia Indonesia masa kini. Pada saat Indieguerillas mendeformasi figur-figur pewayangan hingga tidak lagi terlihat seperti aslinya dan cenderung terasa seperti figur kartun, mereka sebenarnya membangun bentuk baru yang merupakan identitas Indieguerillas.

Dalam penggunaan warna pada karya tersebut menggunakan warna warna yang cerah, khas dengan anak muda. Hal ini karena konsep dari seniman itu sendiri adalah memadukan budaya tradisional dengan modern. Bentuk pemuda pemuda Indonesia pun telah dideformasi dengan bentuk bentuk yang lebih fresh, unik, kartunis, dan sangat cocok untuk selera anak muda, terlihat pada gambar pemuda pemuda yang digambarkan menyerupai tokoh tokoh kartun dengan bentuk yang dilebih-lebihkan.


Dalam karya yang berjudul The Kanoman Overdrive kesan yang ditimbulkan adalah pemuda pemuda Indonesia yang berbagai watak dengan penggambaran yang lucu dan menggemaskan, pewarnaan full colour yang sangat menarik memberi kesan bahwa tujuan dari karya karya terlebih dari karya the Kanoman Overdrive ini adalah Penyampaian pesan kepada anak anak muda Indonesia dalam menghadapi dunia.

Namun, dibalik keunikan dari bentuk bentuk pada karya tersebut sangatlah sulit untuk dipahami mengingat bahwa tujuan dari karya tersebut juga merupakan sebagai penyampaian pesan, dan juga dalam pewarnaan background kurang menarik karena pewarnaan objek dengan background sama sama menggunakan warna yang mencolok, hal ini sangat merugikan karena akan sangat sulit dilihat jika dari kejauhan dan akan lebih baik jika menggunakan pewarnaan background yang lebih redup. Tetapi untuk keseluruhan karya The Kanoman Overdrive sangatlah menarik.

Senin, 28 Desember 2015

KRITIK KESELURUHAN

Judul : Potret Seorang TetanggaPelaku Seni : S SudjojonMedium : Oil paint , CanvasTahun Pembuatan : 1950Dimensi Kary : 151 cm x 121 cm

Deskriptif

             Karya lukisan ini dibuat oleh pendiri Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1950 dengan media cat minyak diatas kanvas yang berukuran 151 cm x 121 cm. lukisan karya S.Sudjojono ini menampilkan subjek matter berupa potret seorang tetangga S.Sujdojono yang sedang menggunakan pakaian pegawai negeri dan subjek pendukungnya berupa pemandangan depan rumah dan satu buah kursi panjang. orang tersebut digambarkan sedang berdiri tegak dan memegang sebuah rokok ditangan kiri serta menggunakan sebuah peci dengan menggunakan pakaian pegawai negeri yang berwarna cokelat keemasan dan celana putih tulang, namun yang berbeda yaitu kakinya tidak menggunakan sepatu. Sedangkan Subjek pendukung ditampilkan menggunakan warna yang hampir sama, cokelat agak kekuningan. Sapuan kuas yang digoreskan pada lukisan tergolong kasar, hal ini karena S.Sujdojono menganut faham Djiwo Ketok, Terdapat unsur rupa lain yang terdapat pada lukisan tersebut, diantaranya adalah unsur garis yang menggunakan spontanitas kasar.

 Analisis

         Lukisan yang ditampilkan dengan sapuan kuas yang kasar dan pewarnaan yang redup (tidak mencolok) menjadikan lukisan ini tampak lebih realistis pada keadaan yang sebenernya, diperkuat dengan gelap terang yang pas dan adanya bayangan subjek menjadikan lukisan karya S.Sudjojono ini lebih tampak dengan nuansa disore hari. Dan juga sapuan pada lantai dengan pantulan cahaya sore hari yang sangat hangat untuk dinikmati. Terdapat sebuah kursi dan subjek yang sedang memegang rokok sebagai pendukung jika subjek pada lukisan tersebut sedang dalam keadaan istirahat setelah sepulang dari kerjanya.


Interpretasi

               Dalam Lukisan yang berjudul Potret Seorang Tetangga S.Sudjojono berusaha menampilkan potret seorang tetangga yang sedang kelelahan setelah pulang dari pekerjaannya yaitu pegawai negeri dengan suasana disore hari, S.Sudjojono dalam melukiskan sesuatu selalu berdasarkan apa yang dia lihat, jadi dalam lukisan ini S.Sudjojono lebih memfokuskan pada kenyataan yang terjadi, terlebih pada masa Cita Nasional bahwa mencari pekerjaan sangatlah sulit.


Evaluasi

                Pada lukisan ini yang berjudul Potret Seorang Tetangga, S. Sudjojono terdapat sebuah kursi yang menurut saya sudut pandangnya kurang mengenakan, hal ini karena kaki mejanya tertutup dengan objek utama. Tetapi untuk keseluruhan lukisan ini sangatlah menarik mengingat perjuangan perjuangan pemuda Indonesia dalam melawan penjajahan belanda.